Langsung ke konten utama

Menengok Penyelenggaraan Pendidikan pada Masa Dinasti Abbasiyyah





Yogyakarta, Gemuruh Kemerdekaan
Selama ratusan tahun peradaban Islam telah banyak memberikan sumbangsih yang besar dalam bidang ilmu pengetahuan di dunia. Tidak hanya dalam bidang agama tapi juga ilmu pengetahuan umum seperi sains, kedokteran, astronomi, dan masih banyak lagi. Ada masa-masa ketika kaum muslim menjadi contoh bagi bangsa-bangsa lain di barat maupun di timur. Berkat risalah yang dibawa Baginda Nabi Muhammad saw, jazirah Arab khususnya dan dunia pada umumnya telah mengalami perkembangan yang pesat dalam bidang kehidupan. Terdorong semangat agama, kaum muslim bertranformasi menjadi cendekiawan-cendekiawan yang ahli dalam bebagai displin ilmu. Perkembangan pesat ilmu pengetahuan tersebut pada akhirnya mengantarkan kaum muslimin pada era keemasan peradaban Islam ketika Bani Abbas memegang alih kekuasaan. 

Selama kurang lebih 5 Abad berdiri, Dinasti Abbasiyyah ini telah menyuguhkan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan yang tak terkira nilainya. Ratusan penemuan, karya seni, arsitektur, dan kitab-kitab dalam berbagai ilmu berhasil diciptakan. Munculnya ilmuan-ilmuan Islam seperti Ibnu Sina, Ar-Razi, Al-Khawarizmi, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, Al-Kindi, Al-Farabi dan ribuan ilmuan lainnya telah menjadikan peradaban islam semakin bersinar. Selama ratusan tahun pula peradaban Islam menjadi rujukan di timur dan di Barat di era, dimana eropa masih diliputi kegelapan.[1] Pusat-pusat pengetahuan bermunculan, dari  Kairo, Iskandariah (Alexanderia), Bashrah, Andalusia hingga kota 1001 malam, Baghdad.  

Diapit sungai Eufrat dan sungai Tigris, kota ini menjadi saksi lahirnya ribuan ulama, ilmuan, filsuf, astronom, penyair, dokter, insinyur, dan cendekiawan lainnya. Prestasi mereka telah menjadi rujukan selama ratusan tahun bahkan hingga kini. Menara-menara masjid tinggi menjulang berdampingan dengan pusat-pusat pendidikan. Arsitektur dan penataan kota sangat berseni. Kota yang tak pernah sepi telah menarik hati para pelancong dan penuntut ilmu yang datang dari bebagai wilayah. Pertanyaannya bagaimana bisa Dinasti Abbasiyah bisa mencapai perkembangan pengetahuan dan kebudayaan yang segemilang itu. 

Perkembangan peradaban di masa Dianasti Abbasiyyah  ini memang tidak dapat lepas dari peran pemerintah dan stabilitas politik kala itu. Khalifah-khalifah dinasti Abbasiyah secara aktif mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayyaan. Berawal dari gerakan besar-besaran penerjemahan buku-buka asing peniggalan Romawi dan Yunani kuno ke dalam bahasa arab, Dinasti Abbasiyah pada akhirnya seecara pun aktif mendirikan Madrasah-madrasah di berbagai wilayah Islam. Pendirian madrasah ini dirasa penting karena Suffah (ruangan/ bagian masjid yang dijadikan sebagai majlis ilmu) dan masjid khan (masjid yang dilengkapi dengan fasilitas belajar mengajar di samping masjid) sudah tidak mampu lagi memuat banyaknya murid yang menuntut ilmu. Selain itu ada juga Ribat , semacam benteng yang memfokuskan pada pengajararn tasawuf/ sufistik. Pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid juga berkembang majelis sastra/ adab, majelis hadist, majelis at-Tadris dan majleis-majelis keilmuan lainnya. Pada masa itu juga sering diadakan perlombaan antara ahli-ahli syair, perdebatan antara fuqaha dan juga sayembara antara ahli kesenian dan pujangga.
Di kota Baghdad juga berdiri sebuah perpustakaan bernama Baitul Hikmah. Pada masa awal Baitul hikmah hanya diperuntukkan sebagai perpustakaan saja. Namun pada masa khalifah Al-Ma’mun Baitul Hikmah bertranformasi menjadi pusat ilmu pengetahuan yang dilengkapi dengan madrasah, perguruan tinggi ruang pertemuan para cendekiawan, bahkan observatorium guna menunjang penelitian para cendekiawan muslim di bidang astronomi/ ilmu falaq. Kegiatan penerjemahan buku-pun masih aktif dilakukan. Koleksi di dalamnya tidak kurang dari 100 ribu volume, jumlah bukunya mencapai 600 ribu jilid buku dari buku agama Islam hingga sains dan sastra, termasuk 2.400 buah mushaf Al-Qur’an berhiaskan emas dan perak yang disimpan di ruangan terpisah.[2]Alhasil Baghdad menjadi pusat dalam berbagai ilmu pengetahuan, tidak hanya ilmu agama tapi juga ilmu pengetahuan umum.
Pada era ini penyelenggaraan pendidikan di madrasah pun sudah memiliki jenjang/tinggakatan, mulai dari sekolah rendah, menengah, hingga pendidikan tinggi. Secara umum kurikulum pendidikan di sekolah rendah meliputi cara membaca menulis, hadis, prinsip dasar matematika, tata, bahasa dan syair.[3] Sedangkan kurikulum di pendidikan tinggi lebih kompleks meliputi kurikulum jurusan agama seperti nahwu, fiqh dan lain-lain, juga kurikulum jurusan umum mulai dari logika hingga aritmatika. Kendati ada pemisahan jurusan namun dalam proses pembelajarannya tidak ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Jika pendidikan tingkat rendah berlangsung di kuttab[4] maka sekolah tingkat menegah diadakan di masjid-masjid. Sedangkan sekolah tingkat tinggi (pendidikan tinggi) dilangsungkan di tempat-tempat tertentu seperti Baitul Hikmah di Baghdad dan Dar al-ilm di Kairo.  Kedua ilmu tersebut diitegralkan menjadi satu hingga lahirlah berbagai penemuan, karya, seni yang bernafaskan islam.

Dari gambaran singkat tersebut terlihat jelas bahwa di masa ini tidak hanya ilmu agama yang berkembang tapi juga ilmu pengetahuan. Selain karena dorongan dan dukungan pemerintah, peran serta dan semangat masyarakat untuk mengembangkan ilmu pegetahuan sangat tinggi. Ayat-ayat Al-Quran dan sabda Nabi telah mendorong mereka untuk selalu berpikir. Ya, sebagai Mukjizat yang abadi Al-Quran telah mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan. Berawal dari rasa penasaran atas hal-hal yang disampaikan dalam Al-Quran telah mendorong kaum muslim untuk menelaah, menganalisis, menelitinya, hingga lahirlah berbagai macam ilmu pengetahuan baru. Dengan demikian agama justru menjadi pendorong dan pijakan berkembangnya pengetahuan dan kebudayaan manusia. Dan hasilnya apa yang telah mereka teliti tidak hanya menambah keimanan dan ketaqwaan mereka kepada Allah tapi juga memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia  pada umumnya.


[1] Zaman ini terjadi setelah runtuhnya kekaisaran Romawi. Bangsa Eropa meninggalkan kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang berhasil ditorehkan ketika era Romawi dan Yunani kuno. Pada era ini terjadi ke-mandek-an perkembangan ilmu pengetahuan di eropa.
[2] Prof. Muhammad Syafii Antonio dkk, Ensiklopedia Peradaban Islam: Baghdad, (Jakarta: Tazkia, 2012), hal 135.
[3] Ibid., hal. 105.
[4] Tempat pengajaran baca tulis yang sudah ada di daerah Arab sebelum Islam datang. pada perkembangannya Kuutab tidak hanya mengajarkan baca tulis tapi juga cara membaca Al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran agama. Lihat Drs, Zuhairini, Sejarah pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hal. 89-91.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Pustaka tentang Rembang yang Wajib Kamu Baca

Yuk cari tahu lebih dalam mengenai sejarah kota tercintamu melalui 10 publikasi karya para pujangga, para peneliti dan cendekiawan di bawah ini. 1. Carita Lasem Carita Lasem atau Babad Lasem merupakan sebuah kronik lokal yang menceritakan sejarah wilayah Lasem dan sekitarnya sejak masa Majapahit hingga era kolonialisme. Kisah dalam kronik ini secara umum berpusat pada Kadipaten Lasem, sebuah monarki yang berpusat di Lasem (kini Kecamatan Lasem, Kabupaten Lasem) sebelum akhirnya dihapuskan pada abad 18-19 M, seiring masuknya penetrasi penjajah di wilayah teluk Rembang. Kronik ini digubah oleh Raden Panji Kamzah, seorang priyayi jawa keturunan trah Kadipaten Lasem, pada tahun 1858. Gubahan tersebut disalin kembali oleh keturunan Panji Kamzah, yang bernama Raden Panji Karsono dalam aksara latin. Pada tahun 1985, Carita Lasem dicetak oleh penerbir pembabar pustaka Lasem dan dijadikan satu dengan sebuah teks ajarah budhisme yang berjudul Pustaka Badrasanti. Pada tahun 2017, carita lasem...

Manusia, Agama, dan Kebudayaan (1)

Belakangan ini, bermunculan kelompok-kelompok Islam transnasional [1] yang berusaha menghapus budaya Islam yang sudah mapan di masyarakat. Kelompok-kelompok tersebut memiliki paham sangat tekstualis atas agama, sehingga pengamalan agama menjadi sangat kaku dan terkesan bertentangan dengan karakteristik Islam di Nusantara. Mereka melakukan gerakan puritan [2]   dengan cara yang radikal dan frontal. Pada akhirnya gerakan tersebut malah memunculkan maraknya gelombang takfirisme [3] yang kini marak terjadi di masyarakat kita. Masalah di atas diperparah dengan minimnya pengajaran (orientasi) dan pewarisan budaya di masyarakat kita. Pendidikan kita kini cenderung bersifat materialistik telah menginggalkan norma-norma luhur kultur kearifan bangsa. Maka jangan heran jika banyak dari generasi muda kita tidak memiliki rasa memilki atas budaya bangsanya sendiri, sehingga ketika muncul gerakan-gerakan yang mempertanyakan keabsahan budaya masyarakatnya sendiri, masyarakat tersebut ...